Anggi Herlin Prakasa
“Sudahlah, Nggi… gak usah di masukan ke hati omongan mereka.
Mereka hanya iri sama kamu aja kok”, hibur Xyavenna.
“….”, Anggi hanya diam.
“Daripada mikirin omongan mereka, makan aja yuk”, bujuk Xena
sekali lagi.
Sebenarnya Xena tidak tega temannya terus-terusan diejek seperti
ini. Anggi sendiri juga sebenarnya juga sedih tapi ia selalu berpikiran ‘yang
penting aku melakukan hal yang benar, gak seperti yang mereka semua bicarakan
tentangku’ jadi ia tidak terlalu ambil pusing sebenarnya. Kemudian, mereka
berdua pun melanjutkan makan siang mereka di tengah keadaan kantin yang mulai
kembali ramai seperti semula. Setelah menyantap makanan kantin, para siswa
wajib mengembalikannya di kios mereka mengambil. Jadi, kantin tetap bersih dan
rapi tanpa piring, gelas, dan alat makan lainnya yang berserakan di ruangan
tersebut
.
Setelah selesai makan, Anggi dan Xyavenna beranjak ke kelas.
Sekali lagi, Xyavenna mencoba membujuk Anggi untuk pergi menemaninya ke pameran
di Jogja.
“Nggi, ikut yaa.. please.”,
pinta Xena
“Emm, bukannya aku gak mau, Xen. Aku-nya sih gak masalah pergi kapan aja. Tapi,
kamu-nya
bagaimana? Siap ulangan besoknya? Terus kalau transportasinya ada gak?
Kalua naik kendaraan umum gak bisa soalnya rawan kan?”, jelas Anggi.
Ia memang perencana yang detil dan rasionalistis. Ia hanya
tak ingin temannya jadi susah sendiri karena hal kecil. Xena terdiam sejenak. Anggi benar juga. Masalahnya apa ia
sudah bisa mengatur waktu seperti Anggi.
“Coba dipikirin dulu deh sambal jalan, nanti telat nih”, tegur Anggi sambil melirik kearah jam
tangannya.
Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju kelas. Di
tengah perjalanan, tepatnya di depan ruang guru, tiba-tiba ada yang memanggil
Anggi.
“Anggi!! Anggi Herlin”, seru seorang
pria yang baru saja keluar dari ruang guru. Refleks, Anggi langsung menoleh kearah
sumber suara.
“Saya Pak?”, tanya Anggi,
meyakinkan.
“Iya, kamu. Kesini, bapak mau bicara
sama kamu. Teman kamu yang itu ikut juga gak apa”, katanya sambil memberi
isyarat untuk masuk ke ruang guru.
Mereka berdua pun mengikuti instruksi Pak Panji. Tak lama
setelah masuk, sehabis memberi salam, mereka duduk di sofa-sofa tempat para
guru biasa mengobrol.
“Pertama, bapak selaku guru bahasa kamu dan mewakili sekolah
ini, ingin berterimakasih sama kamu karena pada lomba debat kemarin kamu sudah
berhasil membanggakan sekolah ini. Penampilan kamu pada lomba kemarin hebat
sekali”, puji Pak Panji.
“Iya, Pak. Saya juga berterimakasih sama Bapak karena telah
membimbing saya selama pelatihan sehingga saya bisa melakukannya secara
maksimal”, balas Anggi
“Oleh karena itu, bapak sudah minta izin dengan Kepala
Sekolah, untuk memberikan reward
untukmu, yaitu day-off buat kamu
selama 3 hari terhitung mulai besok sampai hari Minggu nanti.”, jelas Pak Panji
“Tapi pak, selama saya pelatihan saya kan jarang masuk
kelas, saya takut ketinggalan pelajarannya, pak.”
“Soal itu, saya yakin kamu pasti bisa mengejarnya, kamu anak
yang pintar kok, Nggi.”
“tapi pak..”
“Anggi, ini sebagai tanda terimakasih dari bapak sama
sekolah ini, karena kamu sudah melakukan yang terbaik buat kami. Kami juga
ingin kamu beristirahat.”
“…”
“Bapak mohon, jangan di tolak ya, Nggi?”, pinta Pak Panji.
Anggi terdiam sejenak. Berpikir, apa ia sebaiknya mengambil
tawaranya atau tidak.
“Baiklah, pak. Saya akan mengambil day-off-nya. Terima kasih Pak, atas perhatian Bapak kepada saya.”,
jawab Anggi.
“Yasudah, kalau begitu kamu boleh meninggalkan ruangan ini,
karena kelas sebentar lagi akan mulai. Silahkan.”, kata Pak Panji
Mereka berdua pun meninggalkan ruang guru dan bergegas ke
kelas secepatnya. Jam belajar pun berlangsung dengan normal, menyisakan
kedamaian di lingkungan sekolah tersebut. Anggi pun focus belajar untuk
mengejar materi yang ketinggalan kemarin, sedangkan Xena sibuk menyusun rencana
untuk membujuk Anggi sekali lagi.
Anggi Hartono Prakasa
“Hmmm… yang mana ya yang cocok?”, gumam Anggi pada dirinya
sendiri. Ia tengah sibuk di tengah lukisan-lukisan karyanya, sibuk memilih mana
yang harus ia daftarkan untuk lomba hari Minggu nanti.
“Yang ini aja kali ya.. Ah, enggak cocok sama temanya.”,gumamnya
lagi. Ia pun berkeliling lagi mencari lukisan yang tepat.
Setelah berputar-putar selama kurang lebih 10 menit,
akhirnya ia menemukan 2 lukisannya yang cocok, yang satu menggambarkan ‘Pandawa
Lima’ dan yang lainnya menggambarkan keanekaragaman budaya di Indonesia. Cocok dengan
temanya, ‘Wonderful Indonesia’.
Setelah puas dengan pilihannya, ia pergi meraih gelas yang
tergeletak di meja bundar, tempat biasa ia menaruh palet cat warnanya. Gelas bertuliskan
“Gak perlu sedih kalau sendiri, matahari juga sendiri dan dia akan tetap
bersinar”, yang selalu memberikannya semangat untuk selalu berusaha sendiri
tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Mengisinya dengan teh, ia memang
seorang tea-addict yang selalu sedia teh
dimana pun ia bekerja. Menghirup aroma the bisa membuatnya menjadi lebih
rileks, melepaskan penat yang sedari tadi tinggal di kepalanya.
Setelah meneguk habis tehnya, ia pun berniat untuk
membereskan ruangan yang tadi sempat ia ubrak-abrik.
“Huft..”, helaan napas panjangnya terdengar jelas di ruangan tersebut.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
“….
-o-
paulina (22)
Agatha (02)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar