Senin, 08 Agustus 2016

Komposisi Warna (Part 2)


Anggi Herlin Prakasa


“Pergi ke sana yuk, Nggi. Bosen disini terus.”, bujuk Xyavenna. 

“Tapi ini kan minggu ulangan Xen..”, elak Anggi. 

“Iya, kan refreshing..”, bujuk Xyavenna sekali lagi. 

Siapa tau kita bisa ketemu pelukis-pelukis yang cakep, hehehe..” , ujar Xena. 

“mulai deh..”, kata Anggi.


Kriiiiiing


Bel istirahat akhirnya berbunyi. Anggi yang mulai tidak nyaman dengan topic yang “ini” langsung beranjak pergi menuju kantin. Sekolah Anggi merupaka salah satu sekolah seni yang cukup terkenal seantero negeri ini. Karena banyaknya murid yang berminat untuk bersekolah disini, sekolah menggunakan system shift pagi dan shift siang. Para murid shift siang, biasanya masuk pada saat jam istirahat kedua dan memulai pelajaran setelah istirahat, karena kebanyak para murid shift pagi sudah pulang setelah istirahat siang. Jadi, tidak heran bila setiap siang, kantin mendadak penuh dengan para murid sekolah ini.

“Hmm.. kayaknya bakalan ramai banget nih..Apalagi menunya siang ini lagi enak.”, batin Anggi, sedangkan Xyavenna, yang masih mengoceh sedari tadi, menempel padanya tanpa mempedulikan temannya yang mencoba menghindarinya daritadi.

“Ayolah, Nggi. Sekali aja..”, bujuk Xena sekali lagi.

Anggi tidak menggubris temannya, melainkan langsung mengantri mesin kupon makanan. Kantin di sekolah ini terbilang cukup modern. Kantinnya cukup luas, dengan fasilitas yang memadai untuk menampung seluruh murid yang ingin makan siang disini termasuk para guru. Dengan menggunakan system tukar kupon, para murid di wajibkan membeli kupon dengan mesin seperti atm, dengan menggunakan kartu pelajar sebagai kartu pembayarannya. Setelah membeli, para murid bisa mengantri sambil membawa nampan yang disediakan untuk menampung makanan yang akan dibelinya.

Anggi menekan pelan tombol menu yang tertera di layar sentuh mesin tersebut. Memilih makanan kesukaannya, nasi goreng.

“Xena mau apa?”, tawar Anggi.

“Eh? Aku? Hmm..”, “Cepetan nanti kita di marahin.”, ujar Anggi, tidak sabaran menunggu temannya yang satu ini. 

“Nasi padang aja deh.”, balas Xena cepat. 

Tak lama, dua kertas kecil berwarna kuning keluar dari mesin tersebut. Anggi menyerahkan salah satu kertas kepada Xena. Lalu, mereka berdua berjalan menuju kios yang menjual makanannya.
Ia mengambil nampan, kemudian disusul oleh Xyavenna. 

Siang itu, kantin nampak penuh seperti lautan manusia. Tak heran, karena sedang ada menu special, yang hanya datang setiap 2 minggu sekali, Sushi-ya dan Yakisoba. Kebetulan kiosnya bersebelahan dengan kios Nasi goreng. Jadi, secara tidak langsung antriannya bergabung menjadi satu.

Di kala mengantri, banyak siswa sambil mengobrol bersama satu-dua teman di sampingnya. Seperti yang dilakukan Xena terhadap Anggi selama kurang lebih 10 menit daritadi. Xena masih tetap bersikukuh membujuk Anggi untuk menemaninya ke pameran lukisan di Jogja. Sampai tiba-tiba Anggi mendengar dirinya di perbincangkan oleh teman-teman sekolahnya.

“Eh, kamu tau yang namanya Anggi itu gak?”, “hah? Anggi yang mana? Yang kayak mak lampir itu? Hahahaha.”, “hahahha bisa ae.”, terdengar cekikikan tapi Anggi tidak menggubrisnya. Ia sudah terbiasa di sebut-sebut sebagai ‘Mak Lampir’, ‘Neat Freak’, atau ‘Nenek Sihir’ dan sebutan non-sense­ lainnya. Toh, tidak berpengaruh dalam hidupnya.

“Tapi, aku denger-denger nih ya, dia juara paralel lagi, padahal pas lagi ujian dia sakit makanya ikut susulan. Kok masih bisa ranking parallel ya..”

“Ya, belajarlah. Masa  tidur saja bisa bagus nilainya.”, batin Anggi kesal karena ejekan temannya yang merendahkan kemampuannya.

 “Mencurigakan..”, “hmm.. jangan-jangan..”

“Mencurigakan? mbah mu!”, gerutu Anggi dalam hati, sambil menyerahkan kupon ke Ibu penjaga kios.

“Elah.. kebanyakan cari muka di depan guru sih tuh orang, gak heran deh kalo juara terus, ya nggak?”, sambung temannya yang lain.


“Eh! kalau bicara itu di jaga omongannya, ya. Gak peru pakai nuduh yang enggak-enggak.  Kalau emang iri atau sirik gak perlu gengsi. Buktiin, bukan Cuma di omongan saja, tapi juga di perbuatan. Jangan buat diri kamu sendiri malu. Thanks, ya. Pergi dulu.”, timpal Anggi dengan mantap sambil membawa sepiring nasi gorengnya dengan nampan. Tajam dan mantap. Ciri khas Anggi.

Perkataanya barusan membuat ketiga murid yang tadi membicarakannya membisu sesaat. Untungnya, hanya sesaat. Meninggalkan tatapan mengerikan dari para murid di sekitarnya. Cuek, tipikal Anggi dalam menghadapi situasi seperti ini. Xyavenna merasa rishi setiap kali terjebak di situasi seperti ini setiap bersama Anggi. Di satu sisi, ia ingin sekai mengumpat karena tidak tahan dengan tatapan-tatapan itu. Tetapi, di sisi lain, ia tidak tega melihat Anggi. Ia tahu betul, hal seperti tak jarang lagi terjadi. Dan sesering itu pula, ia di kucilkan di kantin. Dan Xyavenna pasti akan selalu menemaninya.


“Sudahlah, Nggi. …


-o-


Paulina (22)
Agatha A M (02)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogger news

SELAMAT DATANG DI KELAS XI MIPA 7 SMA TARUNA NUSANTARA

Disqus Shortname

Comments system