“Pergi ke sana yuk, Nggi. Bosen disini terus.”, bujuk
Xyavenna.
“Tapi ini kan minggu ulangan Xen..”, elak Anggi.
“Iya, kan refreshing..”, bujuk Xyavenna sekali
lagi.
Siapa tau kita bisa ketemu pelukis-pelukis yang cakep, hehehe..” , ujar
Xena.
“mulai deh..”, kata Anggi.
Kriiiiiing
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Anggi yang mulai tidak
nyaman dengan topic yang “ini” langsung beranjak pergi menuju kantin. Sekolah
Anggi merupaka salah satu sekolah seni yang cukup terkenal seantero negeri ini.
Karena banyaknya murid yang berminat untuk bersekolah disini, sekolah
menggunakan system shift pagi dan shift siang. Para murid shift siang, biasanya
masuk pada saat jam istirahat kedua dan memulai pelajaran setelah istirahat,
karena kebanyak para murid shift pagi sudah pulang setelah istirahat siang.
Jadi, tidak heran bila setiap siang, kantin mendadak penuh dengan para murid
sekolah ini.
“Hmm.. kayaknya bakalan ramai banget nih..Apalagi menunya
siang ini lagi enak.”, batin Anggi, sedangkan Xyavenna, yang masih mengoceh
sedari tadi, menempel padanya tanpa mempedulikan temannya yang mencoba
menghindarinya daritadi.
“Ayolah, Nggi. Sekali aja..”, bujuk Xena sekali lagi.
Anggi tidak menggubris temannya, melainkan langsung
mengantri mesin kupon makanan. Kantin di sekolah ini terbilang cukup modern.
Kantinnya cukup luas, dengan fasilitas yang memadai untuk menampung seluruh
murid yang ingin makan siang disini termasuk para guru. Dengan menggunakan
system tukar kupon, para murid di wajibkan membeli kupon dengan mesin seperti
atm, dengan menggunakan kartu pelajar sebagai kartu pembayarannya. Setelah
membeli, para murid bisa mengantri sambil membawa nampan yang disediakan untuk
menampung makanan yang akan dibelinya.
Anggi menekan pelan tombol menu yang tertera di layar sentuh
mesin tersebut. Memilih makanan kesukaannya, nasi goreng.
“Xena mau apa?”,
tawar Anggi.
“Eh? Aku? Hmm..”, “Cepetan nanti kita di marahin.”, ujar Anggi,
tidak sabaran menunggu temannya yang satu ini.
“Nasi padang aja deh.”, balas
Xena cepat.
Tak lama, dua kertas kecil berwarna kuning keluar dari mesin
tersebut. Anggi menyerahkan salah satu kertas kepada Xena. Lalu, mereka berdua
berjalan menuju kios yang menjual makanannya.
Ia mengambil nampan, kemudian disusul oleh Xyavenna.
Siang
itu, kantin nampak penuh seperti lautan manusia. Tak heran, karena sedang ada
menu special, yang hanya datang setiap 2 minggu sekali, Sushi-ya dan Yakisoba. Kebetulan
kiosnya bersebelahan dengan kios Nasi goreng. Jadi, secara tidak langsung
antriannya bergabung menjadi satu.
Di kala mengantri, banyak siswa sambil mengobrol bersama
satu-dua teman di sampingnya. Seperti yang dilakukan Xena terhadap Anggi selama
kurang lebih 10 menit daritadi. Xena masih tetap bersikukuh membujuk Anggi
untuk menemaninya ke pameran lukisan di Jogja. Sampai tiba-tiba Anggi mendengar
dirinya di perbincangkan oleh teman-teman sekolahnya.
“Eh, kamu tau yang namanya Anggi itu gak?”, “hah? Anggi yang
mana? Yang kayak mak lampir itu? Hahahaha.”, “hahahha bisa ae.”, terdengar cekikikan tapi Anggi tidak menggubrisnya. Ia sudah terbiasa
di sebut-sebut sebagai ‘Mak Lampir’, ‘Neat Freak’, atau ‘Nenek Sihir’ dan
sebutan non-sense lainnya. Toh,
tidak berpengaruh dalam hidupnya.
“Tapi, aku denger-denger nih ya, dia juara paralel lagi,
padahal pas lagi ujian dia sakit makanya ikut susulan. Kok masih bisa ranking parallel
ya..”
“Ya, belajarlah. Masa tidur saja bisa bagus nilainya.”, batin Anggi
kesal karena ejekan temannya yang merendahkan kemampuannya.
“Mencurigakan..”, “hmm..
jangan-jangan..”
“Mencurigakan? mbah
mu!”, gerutu Anggi dalam hati, sambil menyerahkan kupon ke Ibu penjaga
kios.
“Elah.. kebanyakan cari muka di depan guru sih tuh orang, gak heran deh kalo juara terus, ya nggak?”,
sambung temannya yang lain.
“Eh! kalau bicara itu di jaga omongannya, ya. Gak peru pakai
nuduh yang enggak-enggak. Kalau emang
iri atau sirik gak perlu gengsi. Buktiin, bukan Cuma di omongan saja, tapi juga
di perbuatan. Jangan buat diri kamu sendiri malu. Thanks, ya. Pergi dulu.”,
timpal Anggi dengan mantap sambil membawa sepiring nasi gorengnya dengan nampan.
Tajam dan mantap. Ciri khas Anggi.
Perkataanya barusan membuat ketiga murid yang tadi
membicarakannya membisu sesaat. Untungnya, hanya sesaat. Meninggalkan tatapan
mengerikan dari para murid di sekitarnya. Cuek, tipikal Anggi dalam menghadapi
situasi seperti ini. Xyavenna merasa rishi setiap kali terjebak di situasi
seperti ini setiap bersama Anggi. Di satu sisi, ia ingin sekai mengumpat karena
tidak tahan dengan tatapan-tatapan itu. Tetapi, di sisi lain, ia tidak tega
melihat Anggi. Ia tahu betul, hal seperti tak jarang lagi terjadi. Dan sesering
itu pula, ia di kucilkan di kantin. Dan Xyavenna pasti akan selalu menemaninya.
“Sudahlah, Nggi. …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar