Part 1
Tokoh :
Anggi H. Prakasa (Perempuan) apprentice kritikus Lukisan
Anggi H. Prakasa (Laki – Laki) apprentice Pelukis
Anggi
Hartono Prakasa
“hah..
akhirnya selesai juga lukisannya.”,kata seorang laki laki dengan lukisan
terpampang indah dihadapannya. “mau ke kantin gak, nggi?”, Tanya laki-laki lain
di belakangnya. “Boleh, Ton. Yuk.”
Jam istirahat pun mulai. Di tengah - tengah jam istirahat terdengar bel pengumuman.
*ting tong*
“Panggilan kepada Anggi Prakasa harap ke
ruang Kepala Sekolah sekarang juga. Diulangi, Panggilan kepada Anggi Prakasa harap ke ruang Kepala Sekolah sekarang juga. Terima kasih. ”
Anggi yang tadinya sedang on the way ke kantin, langsung bingung ketika mendengar pengumuman tersebut.
“Wah..
kena masalah apa kamu, nggi? Hahaha”
“Yah,
jangan – jangan.. gara – gara aku mecahin pot depan ruang guru kemarin lagi!”,
kata Anggi dengan panik.
“Eits,
gak ikutan yah.”, balas Toni cepat dan langsung berlari meninggalkan Anggi yang
panik sendirian.
"Dasar..", gerutu Anggi.
Dengan
pasrah dan khawatir Anggi berjalan menyusuri lorong yang menuju ke Ruang Kepala Sekolah. Ruang Kepala Sekolah memang cukup jauh dari kantin karena bangunan sekolahnya di desain berbentuk huruf 'O' dengan kantor kepala sekolah di tengah - tengah gedung-gedung sekolah lainnya. Ia memang sudah lama bersekolah di Sekolah Seni ini. Sudah menjadi impiannya sejak kecil untuk bersekolah disini. Ia sudah hafal betul letak - letak ruangan di sekolahannya, karena setiap ada waktu luang, ia lebih memilih berkeliling untuk mencari inspirasi dibanding melakukan kegiatan lainnya seperti membersihkan alat-alat lukis. Yah, walaupun ada piket, sih. Tetapi, terasa berbeda kali ini karena Ia dipanggil oleh Bapak Kepala Sekolah, Pak Dani. Beliau memang terkenal dengan kedisiplinannya yang tinggi dan ketelitiannya yang akurat, karena itu ia diangkat menjadi pemimpin sekolah seni ini.
Dengan
perasaan ngeri, Ia memandang pintu bertuliskan ‘Ruang Kepala Sekolah’. Ia
mengetuk pintu perlahan dengan gugup sambil menunggu jawaban.
“Masuk.”,
terdengar balasan dari dalam ruang Kepala Sekolah.
“Selamat
Siang Pak.. Maaf, Pak. Ada apa memanggil saya?”, tanya Anggi dengan nada gugup.
“Kesini kamu, Anggi.”, kata Pak Dani dengan nada yang tegas. Anggi menurut.
“Begini
nak, Bapak sudah melakukan penilaian terhadap dirimu selama akhir-akhir ini dan
hasilnya…”
Mendengar
perkataan Pak Dani, membuat Anggi menelan ludah.
“Maaf
Pak… sungguh saya tidak sengaja menyenggol pot itu Pak. Saya menyesal telah
berbuat ceroboh. Saya akan segera mengganti potnya Pak, yang penting tolong Pak, jangan beritahu orang tua saya Pak. Saya minta maaf Pak.”
"....."
"Saya sungguh menyesal, Pak. Saya janji, tidak akan mengulanginya, dan akan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan."
“Oh
jadi kamu yang memecahkan pot itu?", selidik Pak Dani dengan nada yang sedikit meninggi.
"I..I-Iya P-pak.."
"Tapi, sebenarnya saya ingin memberi tahu
tentang perlombaan lukis di Jogja lusa nanti, dan saya lihat, kamu punya potensi lebih, Nggi. Karya mu akhir - akhir ini
sangat baik dan pantas untuk diikut sertakan di lomba itu.”, kata Pak Dani sambil menyodorkan beberapa kertas brosur lomba.
“Ohh..
Jadi Bapak tidak marah kepada saya?”, tanya Anggi dengan polos.
“Ya, kali ini saya maafkan. Yang penting, jangan diulangi lagi, intinya kamu mau atau tidak mengikuti lomba itu? Kalau
kamu tidak ikut lomba ini sangat disayangkan karena ini kesempatan emas
untukmu.”
“Baik
Pak saya ikut, tapi saya mohon masalah pot itu, jangan beritahu orang tua
saya.” Kata Anggi dengan nada memohon.
“Ya. Sudah, kamu boleh pergi sekarang.", balas Pak Dani dengan tegas.
"Terima kasih, Pak. Akan saya persiapkan, saya undur diri dahulu, Pak.", kata Anggi dengan sopan.
-o-
Anggi
Herlin Prakasa
Di
siang hari, ruang kelas seni. Banyak siswa yang sedang melakukan kelas melukis.
Beberapa membentuk kelompok, beberapa bekerja sendiri. Salah satu diantaranya
ialah Anggi Herlin Prakasa. Seorang siswi berbakat seni, seni mengkritik
tentunya.
“Bagaimana Nggi menurutmu?”, tanya Melly tentang lukisannya.
“Kalau
menurut aku sih komposisi warna yang dipilih tuh bertabrakan, jadi tema lukisanmu tidak begitu jelas.”, ucap seorang perempuan berambut panjang ikat satu sambil membenarkan posisi kacamatanya.
“Harusnya
warna yang dipilih warna cerah, bukan suram kaya gini.”, ujarnya lagi.
“Oh gitu. Ok, thanks.”, balas Melly. Ia memang sudah
terbiasa dengan kata-kata ‘pedas’ dari Anggi.
"Anggii.. komennya gak usah pedes gitu dong.", timpal perempuan berambut pendek. Cubitan di pipi Anggi sebagai hadiah dari bentuk protesnya.
Xyavenna namanya. Biasa dipanggil Xena. Hanya ia yang berani mencubit pipi Anggi, karena ia sahabatnnya, sejak SD hingga SMA sekarang. Selain sahabatnya, siapapun yang berani menyentuh pipi Anggi, dipastikan akan 'pulang tinggal nama", karena tidak akan kuat melawan Anggi. Ya, ia selalu sempurna dalam segala hal. Mulai dari bidang akademik, ia selalu menjadi juara kelas, terkadang juara paralel juga 'disabet' olehnya. Kedua, penampilan, ia tergolong proporsional dengan kulit cerah, rambut hitam legam yang selalu terikat dengan rapi, wajahnya yang cantik tapi tegas ditambah menggunakan kacamata menggambarkan ia orang yang perfeksionis. Ketiga, olahraga, ia adalah sabuk hitam Taekwondo, atlit renang, dan pemain andalan tim tenis lapangan sekolahnya. Termasuk seni, Ia bahkan dijuluki "apprentice kritikus" karena keahliannya dalam menilai sesuatu dengan sempurna. Hanya saja, ia agak lemah dalam mengolah kata - kata, sehingga terkesan 'pedas' dan 'menikam'. Sahabatnya, Xyavenna, sudah menerima Anggi yang seperti itu.
"Eh Anggi,
ada pameran lomba lukisan di Jogja. Ikut yuk!”, kata Xena sambil menyodorkan brosur lomba.
"....
-o-
Agatha Advenia
Danti Fadilla
Paulina